Showing posts with label Biologi. Show all posts
Showing posts with label Biologi. Show all posts

Daya Dukung Perairan

Menurut Siagian (2010), daya dukung merupakan suatu sistem yang dapat mendukung beban yang dinyatakan sebagai pound ikan per kaki kubik air (lb/ft3). Selanjutnya dikemukakan bahwa daya dukung dibatasi oleh laju konsumsi oksigen dan akumulasi metabolit dan laju konsumsi oksigen tersebut sebanding dengan jumlah pakan yang dimakan per hari. Daya dukung perairan adalah tingkat produksi ikan maksimum yang dapat dihasilkan di perairan tersebut secara berkelanjutan. Pendapat lain menyatakan bahwa daya dukung suatu tapak (site) perairan untuk suatu kegiatan budidaya ikan dalam KJA adalah maksimum produksi ikan yang dapat didukung oleh suatu tapak perairan pada tingkat perubahan konsentrasi total P yang masih dapat diterima perairan yang bersangkutan. Daya dukung perairan selalu berfluktuasi menurut musim dan dapat menurun karena adanya cemaran, misalnya tingginya sisa pakan dan kotoran ikan yang masuk ke perairan.
Analisa daya dukung lingkungan perairan perlu dilakukan untuk mengetahui kondisi dan kemampuan tambak dalam mendukung kegiatan budidaya agar sesuai dengan hasil yang diharapkan bagi para petani tambak. Penentuan daya dukung lingkungan yang digunakan adalah metode Pembobotan. Terdapat 3 metode dalam penentuan daya dukung lingkungan yaitu metode pembobotan (weighting), penilaian (scoring) serta metode nutrient loading (Suparjo, 2008).
Beberapa referensi melaporkan, bahwa kegiatan budidaya ikan di danau dan waduk yang berlandaskan daya dukung perairan adalah melalui pendekatan beban bahan organik yang masuk ke dalam perairan yaitu unsur hara fosfor (P) yang berasal dari sisa pakan yang tidak termanfaatkan dan sisa metabolisme ikan. Selanjutnya dilaporkan bahwa berdasarkan pendekatan beban maksimum kandungan fosfor dan sisa metabolit yang dapat ditoleransi perairan sehingga tidak mengubah tingkat eutrofikasi perairan waduk adalah 0,367 kg P2O5 (fosfat) /ha/hari dimana 1 kg fosfat mengandung 0,437 kg fosfor (Siagian, 2010)
Menurut Suparjo (2008), nilai daya dukung merupakan faktor penting dalam menjamin siklus produksi budidaya dalam jangka waktu yang lama. Daya dukung lingkungan ini relatif mengalami penurunan dibandingkan tahun 1990-an. Penurunan ini disebabkan pengoperasian lahan tambak dan kolam yang dilakukan terus-menerus tanpa istirahat, memacu produksi dengan padat penebaran dan pemberian pakan yang berlebihan serta penggunaan bahan kimia yang dapat merusak lingkungan
Daftar Pustaka
Siagian, Madju. 2010. Daya Dukung Waduk Plta Koto Panjang Kampar Provinsi Riau. Jurnal Perikanan dan Kelautan 15(1) : 25-38
Suparjo, Mustofa Niti. 2008. Daya Dukung Lingkungan Perairan Tambak Desa Mororejo Kabupaten Kendal. Jurnal Saintek Perikanan 4(1) : 50 - 55

Tes Pewarnaan Gram : Bakteri Gram Positif dan Gram Negatif

Bakteri dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu gram positif dan gram negatife. Perbedaan antara gram positif dan negatife yaitu gram positif akan menghasilkan warna ungu atau kebiruaan saat dilaksanakan tes pewarnaan gram sedangkan gram negatife akan menghasilkan warna merah. Menurut Sardiani et al. (2015), bahwa Jika dilihat di bawah mikroskop, bakteri gram positif akan berwarna ungu, karena dapat menahan kompleks pewarna primer yaitu gram A (kristal violet) sedangkan bakteri gram negatif akan berwarna merah ketika diamati menggunakan mikroskop, karena tidak dapat mempertahankan kompleks warna kristal violet dengan pembilasan gram C (alkohol aseton), lalu terwarnai oleh pewarna tandingan berupa gram D (safranin) yang akan terserap pada dinding selnya.
Hasil yang di dapatkan pada tes pewarnaan gram apabila menunjukan warna biru ataupun ungu menunjukan bahwa bakteri termasuk golongan gram positif sedangkan apabila hasil menunjukan warna merah berarti bakteri termasuk golongan gram negatif. Warna yang terbentuk pada slide glass yaitu warna biru keunguan. Warna keunguan didapatkan tersebut didapatkan karena bakteri gram positif mampu mempertahankan pewarnaan kompleks Kristal violet. Menurut Dewi (2013), Warna ungu disebabkan karena bakteri mempertahankan warna pertama, yaitu gentian violet. Perbedaan sifat Gram dipengaruhi oleh kandungan pada dinding sel, yaitu bakteri gram positif kandungan peptidoglikan lebih tebal jika dibanding dengan gram negatif. Sardiani (2015), perbedaan reaksi kedua golongan bakteri tersebut terhadap pewarnaan gram disebabkan bakteri gram positif memiliki dinding sel tebal yang terdiri dari peptidoglikan dan asam teikoat yang akan menyebabkan pori-porinya menutup dan mencegah keluarnya kompleks pewarna primer pada saat pembilasan gram C (alkohol asetoin). Sedangkan dinding sel bakteri gram negatif mengandung sedikit peptidoglikan dan banyak lipid yang akan larut dalam gram C (alkohol aseton) pada saat pembilasan.
Pewarnaan Gram bertujuan untuk mengamati morfologi sel bakteri dan mengetahui kemurnian sel bakteri. Pengecatan Gram merupakan salah satu pewarnaan yang paling sering digunakan, yang dikembangkan oleh Christian Gram. Preparat apus bakteri dibuat dengan cara, mencampurkan satu usa biak bakteri dari PAD dengan NaCl fisiologis yang telah diteteskan pada gelas obyek, kemudian dibuat apus setipis mungkin, dikeringkan, dan difiksasi di atas lampu spiritus. Preparat apus ditetesi pewarna pertama dengan karbol gentian violet selama 2 menit, warna dibuang, ditetesi lugol selama 1 menit, kemudian preparat apus dilunturkan dengan alkohol 95% selama 1 menit. Selanjutnya alkohol dibuang, preparat dicuci dengan akuades dan diberi pewarna kedua dengan larutan fuschine selama 2 menit. Warna kemudian dibuang dan dibersihkan dengan akuades, dikeringkan dan diamati morfologi sel, serta warnanya di bawah mikroskop. Bakteri dikelompokkan sebagai Gram positifapabila selnya terwarnai keunguan, dan Gram negatif apabila selnya terwarnai merah (Helmiyati dan Nurrahman, 2010).
Hal tersebut diakibatkan karena adanya perbedaan struktur dinding sel yang mengalami proses denaturasi. Pada dasarnya dinding sel yang paling mudah terjadi denaturasi adalah dinding sel yang tersusun oleh polisakarida di bandingkan dengan dinding sel yang tersusun oleh fosfolipid. Bakteri gram positif dinding selnya mengandung peptidoglikan dan juga asam teikoat dan asam teikuronat. Oleh sebab itu dinding sel bakteri gram positif sebagian adalah polisakarida. Sedangkan pada dinding sel bakteri gram negative terdapat peptidoglikan yang sedikit sekali dan berada diantara selaput luar dan selaput dalam dinding sel. Dinding sel bakteri gram negative sebelah luar merupakan komponen yang terdiri dari fosfolipid dan beberapa protein yang sering disebut sebagai auto layer. Jadi, setelah di simpulkan bakteri gram positif mengalami proses denaturasi sel terlebih dahulu di bandingkan dengan bakteri gran negatife (Dewi, 2013).
Menurut Purwohadisantoso et al. (2009), pewarnaan dilakukan dengan membuat bekasan isolat di gelas obyek,, kemudian diwarnai dengan larutan Kristal violet dan yodium secara bergantian selama beberapa menit dan dicuci dengan aqauades, selanjutnya dicuci dengan alkohol dan ditetesi dengan larutan cat penutup safranin. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan mikroskop, bakteri Gram positif akan nampak berwarna ungu, sedangkan Gram negatif berwarna merah.

Daftar Pustaka
Dewi, Amalia Krishna. 2013. Isolasi, Identifikasi dan Uji Sensitivitas Staphylococcus aureus terhadap Amoxicillin dari Sampel Susu Kambing Peranakan Ettawa (PE) Penderita Mastitis Di Wilayah Girimulyo, Kulonprogo, Yogyakarta. Jurnal Sains Veteriner, 31(2) : 138 - 150
Helmiyati, Ayu Fitria dan dan Nurrahman. 2010. Pengaruh Konsentrasi Tawas Terhadap Pertumbuhan Bakteri Gram Positif dan Negatif. Jurnal Pangan dan Gizi, 1(1) : 1 - 6
Purwohadisantoso, Kristian, E. Zubaidah, dan E. Saparianti. Isolasi Bakteri Asam Laktat Dari Sayur Kubis Yang Memiliki Kemampuan Penghambatan Bakteri Patogen (Staphylococcus aureus, Listeria monocytogenes, Escherichia coli, dan Salmonella thypimurium). Jurnal Teknologi Pertanian, 10(1) : 19 – 27

Sardiani, Nenis., M. Litaay, R. G. Budji, D. Priosambodo, Syahribulan, dan Z. Dwyana. 2015. Potensi Tunikata Rhopalaea sp Sebagai Sumber Inokulum Bakteri Endosimbion Penghasil Antibakteri; 1. Karakterisasi Isolat. Jurnal Alam dan Lingkungan, 6(11)

Macam-macan Mineral

Mineral merupakan bagian dari tubuh yang sangat dibutuhkan meskipun dalam jumlah yang tergolong sedikit dibandingkan dengan nutrisi lain seperti karbohidrat maupun protein. Meskipun jumlah yang dibutuhkan hanya sedikit, namun peran mineral bagi ikan sangat penting karena berpengaruh pada pembentukan sel maupun jaringan serta proses metabolisme dalam tubuh ikan. Menurut Hariati (2010), mineral dalam tubuh ikan berfungsi sebagai bahan pembentuk berbagai sel maupun jaringan tubuh sepeti sisik dan tulang ikan. Mineral  juga berfungsi dalam proses metabolisme, proses penyesuaian tekanan osmotik antara tubuh dan lingkungan, proses pembekuan darah dan sebagai pengatur keseimbangan asam basa dalam tubuh. Arifin (2008), unsur mineral merupakan salah satu komponen yang sangat diperlukan oleh makhluk hidup di selain karbohidrat, lemak, protein, dan vitamin. Unsur mineral juga dikenal sebagai zat anorganik atau kadar abu. Apabila suatu bahan biologis dibakar, sebagian besar mineral akan tertinggal dalam bentuk abu dalam bentuk senyawa anorganik sederhana, serta akan terjadi penggabungan antarindividu atau dengan oksigen sehingga terbentuk garam anorganik.

Mineral dikelompokan menjadi dua jenis yaitu makro mineral dan mikro mineral. Makro mineral merupakan mineral yang dibutuhkan atau diperlukan dalam jumlah banyak di dalam tubuh, sedangkan mikro mineral adalam mineral adalah senyawa mineral yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit di dalam tubuh. Penggolongan mineral yang lain yaitu mineral dibagi menjadi mineral esensial dan mineral non esensial. Menurut Arifin (2008) mineral dibagi menjadi dua jenis yaitu mineral esensial dan nonesensial. Mineral esensial yaitu mineral yang sangat diperlukan dalam proses fisiologis makhluk hidup untuk membantu kerja enzim atau pembentukan organ. Unsur-unsur mineral esensial idalam tubuh itu sendiri terdiri atas dua golongan, yaitu mineral makro dan mineral mikro. Mineral makro merupakan mineral yang diperlukan untuk membentuk komponen organ di dalam tubuh dalam jumlah yang lebih banyak dibangdingkan mineral mikro. Sedangkan mineral mikro yaitu mineral yang diperlukan dalam jumlah sangat sedikit dan umumnya terdapat dalam jaringan dengan konsentrasi sangat kecil. Mineral nonesensial adalah logam yang perannya dalam tubuh makhluk hidup belum diketahui dan kandungannya dalam jaringan sangat kecil. Bila kandungannya tinggi dapat merusak organ tubuh makhluk hidup yang bersangkutan. Di samping mengakibatkan keracunan, logam juga dapat menyebabkan penyakit.

Mineral esensial merupakan mineral yang sangat diperlukan oleh tubuh sehingga kebutuhan akan mineral tersebut harus terpenuhi sehingga proses mertabolisme dapat berjalan secara lancar. Menurut Arifin (2008), mineral (logam) berdasarkan fungsinya di dalam tubuh dibagi menjadi dua golongan, yaitu mineral logam esensial dan nonesensial. Logam esensial diperlukan dalam proses fisiologis tubuh makshluk hidup, sehingga mineral dari golongan ini merupakan unsur nutrisi penting yang jika kekurangan dapat menyebabkan kelainan proses fisiologis atau disebut penyakit defisiensi mineral. Yang termasuk kedalam mineral esensial yaitu
a.              Kalsium (Ca)
b.             Fosforus (P)
c.              Kalium (K)
d.             Natrium (Na)
e.              Klorin (Cl)
f.               Sulfur (S)
g.              Magnesium (Mg)
h.              Besi (Fe)
i.                Tembaga (Cu)
j.               Seng (Zn)
k.             Mangan (Mn)
l.                Kobalt (Co)
m.            Iodin (I)
n.              Selenium (Se)
Logam nonesensial adalah golongan logam yang tidak berguna, atau data ini belum diketahui kegunaannya dalam tubuh, sehingga hadirnya unsur tersebut lebih dari normal dapat menyebabkan keracunan. Logam tersebut bahkan sangat berbahaya bagi makhluk hidup, seperti :
a.              Timbal (Pb)
b.             Merkuri (Hg)
c.              Arsenik (As)
d.             Kadmium (Cd)
e.              Aluminium (Al)

Penggolongan mineral esensial berdasarkan jumlah yang dibutuhkan oleh tubuh dibagi menjadi dua yaitu makro mineral dan mikro mineral. Makro mineral dibutuhkan lebih banyak oleh tubuh dibandingkan mikro mineral. Arifin (2008) berdasarkan banyaknya mineral yang dibutuhka oleh tubuh, mineral dibagi menjadi dua kelompok, yaitu mineral makro dan mineral mikro. Mineral makro diperlukan atau terdapat dalam jumlah relatif besar. Delviana (2011), Mineral yang termasuk di dalam kategori mineral makro utama adalah :

a.              Mineral Makro
1.             Kalsium
Kalsium merupakan unsur yang penting dalam perkembangan serta pertumbuhan tulang pada ikan, ekso skeleton (karapas) pada krustase, menjaga keseimbangan osmotik, proses pembekuan darah, sekresi hormon dan sistem saraf. Ikan dan Udang dapat menyerap kalsium dari air, bahwa lebih dari 50%-60% kebutuhan kalsium dapat diperoleh dari air. Kalsium dari air diserap melalui insang, sirip, oral epithelia. Insang merupakan organ terpenting dalam pengaturan kalsium. Kalsium dalam pakan umumnya di dapatkan dari bahan baku seperti tepung ikan, namun kekuranganya bisa juga disuplementasi dengan tepung batu. Pada saat proses metabolisme makanan ada interaksi antara kalsium dengan vitamin D3, Mg, dan Zn.
2.             Fosfor (P)
Fosfor merupakan mineral makro lainnya yang dibutuhkan oleh ikan dan sangat penting dalampembentukan nukleotida dan membran sel. Hal ini berarti fosfor berpran penting dalam pembentukanATP, yang kemudian akan menjadi energi bagi ikan. Berbeda dengan kalsium, ketersediaan fosfor dalam air sangatlah rendah. Sehingga untuk pemenuhan kebutuhan fosfor harus disediakan dalam pakan. Sebagian besar jenis ikan membutuhkan fosfor tersedia 0,5%-1% spesies lainnya membutuhkan 0,5%-0,9% dalam pakan. Fosfor tersedia di sini diartikan sebagai fosfor yang mampu diserap oleh ikan dan udang. Fosfor pada tanaman yang diikat oleh asam fitat sebagian besar tidak bisa diserap oleh ikan dan udang, hanya sekitar 40%-60% saja yang bisa diserap. Asam fitat juga akan mengikat ion Zn2+, Fe2+, Ca2+ sehingga akan menurunkan penyerapan ions tersebut di dalam saluran pencernaan. Untuk menyiasati hal ini maka penggunaan enzim fitase untuk melepaskan ikatan fitat telah banyak digunakan dalam industri pakan. Pemenuhan kebutuhan fosfor tidak terkait dengan penambahan kalsium dalam pakan, akan tetapi sumber fosfor umumnya mengandung kalsium tinggi. Hal yang perlu di perhatikan adalah rasio antara kalsium dan fosfor dalam pakan ikan dan udang. Nilai rasio Ca dan P bervariatif berkisar antara 0,5:1 sampai dengan 1:1.
3.             Magnesium (Mg)
Konsentrasi magnesium dalam tubuh ikan adalah 20-100 mg / 100. Magnesium adalah ko-faktor beberapa reaksi enzimatis yang berhubungan dengan fosfor. Magnesium dalam bahan pakan asal tanaman cukup tinggi, sehingga suplementasi bahan inorganik dalam bentuk garam magnesium diperlukan dalam kasus tertentu saja. Kandungan dan kecernaan magnesium dalam tepung ikan sangat tinggi, kecernaanya dibandingkan dengan MgCl2 lebih tinggi 75% pada ikan salmon. Ini diduga ada hubungannya dengan kondisi magnesium di dalam laut. Air laut mempunyai kandungan magnesium yang tinggi yaitu sekitar 1.350 mg/L. Oleh karena itu, spesies ikan dan udang yang hidup pada air berkadar garam tinggi tidak memerlukan suplementasi sumber magnesium pada pakannya.
4.             Sodium, Klor, dan Potasium
Keseimbangan asam basa dari Na+, Cl- dan K+ dibutuhkan dalam proses osmoregulasi. Lingkungan air umumnya kaya akan Na dan Cl, sehingga kebutuhan akan unsur tersebut tidak banyak dibahas. Namun demikian diketahui bahwa penambahan sodium, potasium dan chloride dalam pakan akan memperbaiki proses fisiologi. Bahwa pakan yang mengandung 0,9% potasium pada udang P. japonicus lebih tinggi pertumbuhannya dibandingkan dengan pakan yang mengandung 1,8% potasium. Suplementasi potasium dalam pakan cukup 1% saja


b.             Mineral Mikro
1.             Fe (Besi)
Fe atau yang dikenal dengan zat besi merupakan unsur yang penting dalam pembentukan hemoglobin dan reaksi-reaksi ezimatik lainnya. Udang tidak mempunyai hemoglobin sehingga kebutuhan akan Fe belum diketahui pasti, kelebihan Fe berpotensi menurunkan pertumbuhan udang. Bahan baku pakan sumber Fe kebanyakan dari hewan, diantaranya adalah tepung darah dengan kandungan Fe sebesar 2.000-3.000 mg/kg, tergantung pada proses pengeringannnya.
2.             Cu ( Copper)
Cu merupakan salah satu komponen penting dalam proses enzimatik yang berhubungan dengan transpot elektron didalam sel. Dalam hal ini Cu berperan sebagai pembawa oksigen dalam hemosianin pada krustase dan moluska. Pada ikan, Cu mempunyai berfungsi memfasilitasi penyerapan unsur mikro lainnya seperti Fe dan Zn. Ikan lebih toleran terhadap kelebihan Cu dari pakan, dibandingkan Cu yang ada dalam air. Kandungan Cu dalam air antara 0,8-1,0 mg/L air beracun untuk beberapa jenis ikan. Namun demikian pemberian Cu dalam pakan sampai dengan 600 mg/kg tidak menimbulkan bahaya pada ikan.
3.             Zn ( Seng)
Fungsi utama Zn adalah sebagai ko-faktor dalam beberapa proses enzimatik, termasuk penggunaan hampir semua nutrisi. Paling tidak ada 20 jenis enzim yang mengandung Zn. Ikan dapat memperoleh Zn dari air dan pakan, tetapi penyerapan Zn dari pakan lebih efisien. Zn dari bahan baku asal hewan seperti tepung ikan, tetapi mempunyai kecernaan rendah. Sementara Zn dari tumbuhan banyak terikat oleh asam fitat, sehingga suplementasi bahan an organik sumber Zn menjadi sangat penting.
4.             Iodium (I)
Kebutuhan Iodium berhubungan dengan kerja kelenjar tyroid. Kebutuhan minimal Iodium pada ikan dan udang tidak banyak diketahui, tetapi penambahan Iodium pada pakan sebagai jaminansupaya tidak terjadi defisiensi direkomendasikan oleh NRC.
5.             Mangan (Mn)
Seperti unsur Zn, ikan bisa mendapatkan Mn dari air, namun demikian akan lebih efisien jika diperoleh dari pakan. Manganese penting sebagai ko-faktor proses enzimetik terutama berhubungandengan metabolisme protein, karbohidrat dan lemak. Mn dalam bahan baku pakan jumlahnya cukup banyak, tetapi kecernaanya sangat bervariasi. Pemberian MnSO4 atau MnCl3 lebih mudah diserap oleh ikan. Pemberian Mn pada pakan udang lebih diperlukan karena kadar Mn dalam air laut sangat rendah.
6.             Selenium (Se)
Fungsi utama Se adalah melindungi membran sel dari oksidasi, ini sejalan dengan fungsi vitamin E. Konsentrasi selenium dalam air sangat rendah, sedangkan pada tepung ikan sangat bervariasi. Penggunaan tepung ikan lebih dari 15% pada pakan udang bisa mencukupi kebutuhan selenium. Akan tetapi penggunaan tepung ikan saat ini mulai dibatasi, sehingga suplementasi selenium baik organik maupun anorganik sangat dianjurkan.
7.             Unsur mikro lainnya
Unsur alumunium diketahui berpengaruh terhadap pertumbuhan belut, sedangkan flourin diduga penting untuk ikan salmon. kobalt (Co) merupakan komponen penting dalam pembentukan vitamin B12, kromium penting dalam proses metabolisme glukosa dan lemak, dan sulfur diperlukan dalam proses sintetis sistin. Unsur-unsur lain seperti molibdenum, silikon dan vanadium belum banyak diketahui fungsinya untuk ikan.

Daftar Pustaka
Arifin, Zainal. 2008. Beberapa Unsur Mineral Esensial Mikro dalam Sistem Biologi dan Metode Analisisnya. Jurnal Litbang Pertanian, 27(3): 99-105.
Delviana, Willy. 2011. Penetapan Kadar Kalium dan Natrium pada Pisang (Musa paradisiaca, L) Secara Spektofotometri Serapan Atom. [SKRIPSI]. Universitas Sumatera Utara
Hariati, Etty. 2010. Potensi Tepung Cacing Sutera (Tubifex sp.) Dan Tepung Tapioka Untuk Substitusi Pakan Komersial Ikan Patin (Pangasius hypophtalmus). [SKRIPSI]. Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Kebutuhan Pakan Ikan Patin

Peran pakan sangat penting untuk meningkatkan produksi. Bila pakan yang diberikan hanya seadanya maka produksi yang dihasilkan tentu sedikit. Kandungan gizi pakan juga harus diperhatikan sehingga hasil ikan yang diperoleh maksimal Ikan sangat membutuhkan nutrisi untuk pertumbuhan dan mempertahankan hidup. Pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang kompleks. Pertumbuhan dan kemampuan mempertahankan hidup ikan dipengaruhi oleh perubahan pada kemelimpahan organisme yang menjadi makanannya. Fungsi utama makanan adalah untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan. Makanan yang dimakan oleh ikan digunakan untuk kelangsungan hidup dan apabila ada kelebihan makanan maka dimanfaatkan untuk pertumbuhan. Ikan patin termasuk omnivora atau golongan ikan pemakan segala. Pakan alami ikan patin merupakan menu utama selama tahap awal benih ikan. Jenis pakan alami yang umum dipakai adalah berupa ikan-ikan kecil, cacing, detritus, biji – bijian, artemia, udang kecil dan moluska (Delviana, 2011)

                                         Gambar 1. Pemberian pakan ikan patin
                                        Sumber : Sumberrejogudangikan.blogspot.com
Pakan yang biasa digunakan pada saat stadia larva hingga larva menjadi benih yang berukuran 19,05 mm adalah Artemia (Artemia salina) dan tubifex (Tubifex sp.). Artemia diberikan pada saat stadia larva hingga larva berumur lima hari. Kelebihan dari Artemia sebagai pakan alami adalah memiliki kandungan pigmen (canthaxanthin), protein, vitamin C, dan beberapa asam lemak penting untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva. Sedangkan pada budidaya patin tingkat pembesaran saat ini banyak dilakukan secara intensif yang memanfaatkan pakan buatan untuk memacu pertumbuhannya. Peningkatkan pertumbuhan pada ikan masih terus dilakukan dengan mengefisienkan pakan yang diberikan sehingga limbah budidaya diantaranya feses dan sisa pakan menurun. Beberapa penelitian menggunakan patin untuk memperoleh pertumbuhan, efisiensi pakan, komposisi daging yang diinginkan dengan menggunakan perbedaan komposisi lemak dan protein untuk memperoleh energi yang maksimal sehingga didapatkan hasil yang paling maksimal (Setiawati et al., 2013).
Menurut Handayani et al. (2014), pemberian pakan pada ikan patin dengan tingkat pemberian 10% dari bobot total ikan memberikan hasil laju pertumbuhan bobot harian yang tertinggi yaitu 4,11%. Hal ini menunjukkan bahwa pakan yang tersedia sudah mencukupi untuk pertumbuhan ikan. Semakin besar tingkat pemberian pakan yang diberikan semakin banyak pakan yang dikonsumsi sehingga mengakibatkan pertumbuhan ikan lebih cepat. Sedangkan pemberian pakan pada ikan patin dengan tingkat pemberian pakan 2,5% memberikan hasil laju pertumbuhan bobot harian terendah yaitu 2,22%, hal ini diduga disebabkan oleh sedikitnya jumlah pakan yang dikonsumsi. Hal ini menunjukan bahwa pakan yang diberikan terlalu sedikit dapat menyebabkan lambatnya pertumbuhan, karena energi yang diperoleh benih lebih kecil daripada yang dipergunakan untuk pemeliharaan tubuh. Formulasi pakan yang diberikan kepada ikan patin haruslah sesuai dengan kebutuhan ikan baik dari komposisi pakan, jumlah pakan dan frekuensi pemberian pakan. 

Daftar Pustaka
Setiawati, Mia., D. Putri, dan D. Jusadi. 2013. Sintasan dan pertumbuhan larva ikan patin yang diberi Artemia mengandung vitamin C . Jurnal Akuakultur Indonesia, 12 (2): 136–143.
Delviana, Willy. 2011. Penetapan Kadar Kalium dan Natrium pada Pisang (Musa paradisiaca, L) Secara Spektofotometri Serapan Atom. [SKRIPSI]. Universitas Sumatera Utara

Habitat dan Produksi Ikan Patin

Ikan patin merupakan ikan yang hidup pada perairan tawar. Di akam, ikan patin sering ditemukan di perairan danau, sungai, maupun waduk. Pada kegiatan budidaya ikan patin sering dipelihara pada kolam maupun keramba jaring apung. Menurut Hariati (2010), bahwa habitat ikan patin adalah di tepi sungai – sungai besar dan di muara – muara sungai serta danau. Dilihat dari bentuk mulut ikan patin yang letaknya sedikit agak ke bawah, maka ikan patin termasuk ikan yang hidup di dasar perairan. Ikan patin sangat terkenal dan digemari oleh masyarakat karena daging ikan patin sangat gurih dan lezat untuk dikonsumsi.
Ikan patin merupakan salah satu ikan asli Indonesia dan menjadi salah satu komoditas unggulan di dunia perikanan budidaya. Kegemaran masyarakat akan ikan patin terus meningkat sehingga merupakan ikan yang banyak dibudidayakan. Di Indonesia ikan patin banyak dibudidayakan di pulau Sumatera dan Kalimantan. Persebaran ikan patin saat ini berada di Thailand, India dan Negara lainya. Menurut Hariati (2010), ikan patin merupakan salah satui ikan asli Indonesia yang telah sukses di domestikasi dan jenisnya sangat beragam. Oktavianti (2014), penyebaran ikan patin meliputi Thailand, Burma, India, Taiwan, dan Malaysia.


Gambar 1. Budidaya ikan patin

Budidaya ikan patin yang dilakuak oleh masyarakat Indonesia biasanya memanfaatkan kolam maupun keramba jaring apug apabila budidaya dilakukan di perairan terbuka seperti danau maupun waduk. Menurut Hariati (2010), pemeliharaan di kolam dilakukan antara 4 – 12 bulan tergantung dari ukuran benih yang ditebar dan target konsemen. Benih yang ditebar berukuran rata – rata 100 gram, maka pemeliharaan dilakukan sekitar 6 bulan. Ukuran ikan pada saat panen mencapai 500 – 600 gram per ekor
Menurut Setiawati et al., (2013) saat ini produksi ikan patin masih tergolong rendah di bandingkan roduksi ikan lainya seperti ikan nila, lele, ikan mas, dan ikan jenis lainya sehingga produktivitasnya perlu ditingkatkan. Peningkatan produktivitas larva ikan patin diharapkan dapat meningkatkan ketersediaan benih yang pada akhirnya dapat meningkatkan produksi ikan patin konsumsi. Sebagai gambaran, berdasarkan data data yang didapatkan dari KKP tahun 2012 kebutuhan ikan patin konsumsi di Indonesia mencapai 155.000 ton/tahun, sedangkan produksi ikan patin konsumsi di Indonesia masih 145.000 ton/tahun. KKP menargetkan produksi benih ikan patin di Indonesia mencapai 319.300 ton. Peningkatan produksi ikan patin konsumsi ini perlu didukung oleh ketersediaan benih. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk meningkatkan kelangsungan hidup larva ikan patin agar didapatkan benih yang berkualitas dan kontinuitas sehingga produksi di tingkat pembenihan meningkat. Sampai saat ini kelangsungan hidup larva ikan patin bervariasi mulai dari 10% hingga 65%. Adanya variasi pada nilai kelangsungan hidup larva ikan patin dapat disebabkan oleh penurunan daya tahan tubuh ikan akibat stres. Ikan mengalami stres karena pada saat pemeliharaan dilakukan padat penebaran tinggi.

Daftar Pustaka
Setiawati, Mia., D. Putri, dan D. Jusadi. 2013. Sintasan dan pertumbuhan larva ikan patin yang diberi Artemia mengandung vitamin C . Jurnal Akuakultur Indonesia, 12 (2): 136–143.
Hariati, Etty. 2010. Potensi Tepung Cacing Sutera (Tubifex sp.) Dan Tepung Tapioka Untuk Substitusi Pakan Komersial Ikan Patin (Pangasius hypophtalmus). [SKRIPSI]. Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Biologi Ikan Patin

Ikan patin merupakan ikan asli Indonesia yang banyak dikembangkan dan di budidayakan oleh petani ikan. Gambar ikan patin dapat dilihat pada gambar 1 :


Gambar 1. Ikan patin

Menurut Oktavianti (2014), dalam taksonomi kedudukan ikan patin adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Pisces
Ordo : Ostariophysi
Sub-ordo : Siluroidea
Famili : Pangasidae
Genus : Pangasius
Spesies : Pangasius hypopthalmus Ham. Buch.
Nama Inggris : catfish
Nama lokal : ikan patin siam
Ciri umum yang dimiliki ikan patin yaitu memiliki bentuk tubuh memanjang, berwarna putih perak dengan punggung berwarna biru kehitaman. Tubuhnya tidak memiliki sisik seperti ikan lele, kepala ikan patin relatif kecil dengan mulut terletak diujung kepala agak ke bawah. Pada mulut ikan patin terdapat kumis yang biasanya berfungsi sebagai peraba. Dibagian dorsal (punggung) terdapat sirip yang memiliki jari-jari keras dan bergerigi serta jari-jari lunak yang terdapat di bagian belakang. Menurut Andria dan Jenny (2006), ikan patin memiliki tubuh memanjang, agak pipih, tidak bersisik, dan panjang tubuhnya saat dewasa dapat mencapai 120 cm. Ikan patin saat memiliki ukuran 5-12 cm sering dijadikan ikan hias karena memiliki tubuh yang bagus dan bersifat jinak. Maharani (2009), ikan patin memiliki badan yang memanjang berwarna putih seperti perak pada bagian bawah tubuhnya dengan punggung berwarna kebiru-biruan. Panjang tubuhnya dapat mencapai 120 cm ketika dewasa. Memiliki kepala patin relatif kecil dengan mulut terletak di ujung kepala sedikit ke bawah yang merupakan ciri khas ikan darigolongan catfish. Sudut mulutnya terdapat dua pasang kumis pendek yang berfungsi sebagai peraba. Sirip punggung memiliki jari-jari keras yang bergerigi dan besar serta dibelakang duri keras tersebut terdapat jari-jari lunak yang biasanya berjumlah enam atau tujuh buah. Pada punggungnya terdapat sirip lemak yang berukuran kecil sekali dan sirip ekornya membentuk cagak dengan bentuk simetris.

Daftar Pustaka
Andir, P.M., dan Jeanny M.U. 2006. Pengaruh Formula Pakan Terhadap Perkembangan Ikan Patin (Pangasius sp.) yang Dipelihara di Waring Apung. Risalah Seminar Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi
Maharani, Deasy Puspita. 2009. Pengaruh Salinitas Terhadap Derajat Penetasan Telur dan Kelangsungan Hidup Larva Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus Ham. Buch.) dalam Akuarium. [SKRIPSI]. Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Oktavianti, Dian. 2014. Subtitusi Parsial Tepung Ikan Dengan Menggunakan Tepung Ikan Petek (Leiougnathus equulus) dalam Pakan Buatan Benih Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalamus). [SKRIPSI]. Universitas Lampung.

Pengertian Mikroorganisme Akuatik

Mikroorganisme adalah organisme yang berukuran sangat kecil dan tidak dapat terlihat oleh mata telanjang sehingga diperlukan alat bantu untuk melihatnya. Mikroorganisme banyak terdapat pada daratan dan perairan. Mikroorganisme akuatik merupakan hewan maupun tumbuhan berukuran mikroskopis yang hidup dan berkembang di dalam air atau perairan. Mikroorganisme perairan memiliki peranan penting di dalam perairan dan jumlahnya sangat berlimpah.  Mikroorganisme sendiri memiliki peranan yang penting dan dominan di dalam perairan karena jumlah dan kemampuannya untuk mensintesis senyawa kimia. Mikroorganisme perairan mempunyai kemampuan untuk menguraikan bahan-bahan organik di dalam perairan dan tanah dasar perairan secara tepat mengubahnya menjadi bahan-bahan anorganik dalam bentuk nutrien yang berguna bagi tumbuhan hijau dalam air. Mikroorganisme juga memiliki dampak negataif bagi biota perairan kareana diantara mikroorganisme tersebut terdapat banyak mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit. Menurut Sutiknowati (2014), bakteri adalah mikroorganisme yang dapat memiliki arti penting bagi perairan budidaya laut maupun perairan budidaya air tawar. Namun disisi lain, bakteri dapat menyebabkan penyakit yang dapat merugikan dan menjadi indikator pencemar. Salah satu parameter penunjang keberhasilan budidaya air laut (tambak) maupun budidaya air tawar adalah kondisi bakteriologis di dalam perairan budidaya tersebut.
Mikroorganisme perairan meliputi tumbuhan dan hewan yang bersifat mikroskopis atau kecil dapat digolongkan sebagai mikroorganisme, seperti bakteri, jamur, mikroalgae, protozoa, metazo kecil, dan virus. Mikroorganisme perairan ini memainkan peran dominan di dalam aktivitas kehidupan perairan. Misalnya tumbuhan berperan penting dalam proses fotosintesa dalam air serta dapat dimanfaatkan sebagai pakan alami untuk ikan. Selain itu, mikroorganisme dapat pula memiliki dampak negatif pada manusia karena dapat menyebabkan berbagai macam penyakit dari penyakit ringan bahkan yang mematikan. Menurut Said dan Marsidi (2005), beberapa mikroorganisme mungkin dapat menyebabkan penyakit terhadap manusis. Organisme tersebut antara lain bakteria, fungi, protozoa, metazoa, dan virus.

Daftar Pustaka
Said, Nusa Idaman, dan R. Marsidi, 2005. Mikroorganisme Patogen dan Parasit Didalam Air Limbah Domestik Serta Alternatif Teknologi Pengolahan. JAI, 1(1) : 65-81
Sutiknowati, Lies Indah. 2014. Kualitas Perairan Tambak Udang Berdasarkan Parameter Mikrobiologi. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 6(1) : 157-170

Potensi Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma macropomum)

Beberapa upaya pengembangan Ikan Bawal Bintang telah dilakukan di Balai Budidaya Air Laut di Indonesia (Juniyanto et al., 2008; Putro et al., 2008; Harjono, 2010). Diversifikasi media budidaya dari air laut ke air payau juga merupakan salah satu teknik yang berpotensi dikembangkan untuk meningkatkan produksi ikan. Teknik diversifikasi media budidaya pernah dilakukan sebelumnya pada ikan Trachinotus carolinus dan Trachinotus marginatus (Gothreaux, 2008; Costa et al., 2008). Bahkan Trachinotus carolinus dilaporkan telah dapat dibudidayakan di tambak bersalinitas rendah (19-12 ppt) dan tahan terhadap perubahan mendadak dari media air bersalinitas 32 ppt ke 19 ppt (McMaster et al., 2005; McMaster et al., 2006), sehingga Ikan Bawal Bintang ini memiliki potensi untuk dibudidayakan di salinitas rendah, terlebih ikan yang digunakan untuk uji coba adalah ikan juvenil. Juvenil adalah fase dimana secara morfologi, fisiologi, dan ekologi telah mirip dengan fase dewasa namun belum reproduktif (Bishop et al., 2006). Spesies yang berkerabat dekat yaitu ikan bawal Florida (Trachinotus carolinus), fase juvenil memiliki kisaran toleransi yang 2 cenderung lebih luas daripada ikan dewasa (Groat, 2002) sehingga akan lebih mudah dalam perekayasaan salinitasnya, sehingga dalam penelitian ini dipilih Ikan Bawal Bintang umur juvenil untuk dipelihara dalam salinitas lebih rendah daripada air laut.
Pertumbuhan ditinjau dari pertambahan biomassa individu ikan merupakan salah satu komponen penting untuk mengukur keberhasilan perikanan (Bone and More, 2008). Perlakuan salinitas yang lebih rendah daripada air laut selain memberi keuntungan pada peningkatan produksi juga berpotensi dapat meningkatkan efisiensi metabolisme ikan sehingga diduga dapat meningkatkan biomassa individu. Hal ini didasarkan pada pernyataan Bone and More (2008) bahwa untuk mempertahankan sistem osmoregulasinya, ikan membutuhkan setidaknya 25 hingga 50% dari total energinya. Ikan akan mengkonversi pakan yang dikonsumsinya menjadi biomassa jika terdapat kelebihan nutrisi setelah digunakan untuk metabolisme dasar (seperti osmoregulasi). Sebagai sumber protein hewani, untuk mendukung nilai ikan, selain pengukuran biomassa individu juga perlu dilakukan analisa kandungan nutrisi termasuk protein (Sari et al., 2008).
Menurut Pramono (2007) protein merupakan nutrien terbesar bagi tubuh ikan. Selain itu kebutuhan manusia akan protein juga banyak didapatkan dari ikan. Menurut Badan Pusat Statistik melalui survei sosial ekonomi nasional (2009) protein yang berasal dari ikan memiliki kontribusi sebesar lebih dari 65% pada tahun 2008 dan 2009 dibandingkan dengan protein hasil konsumsi bukan ikan. Hal ini menjadi bukti bahwa protein ikan memberi kontribusi besar untuk mencukupi kebutuhan protein masyarakat. Mengacu pada latar belakang di atas, maka perlu dilakukan penelitian pengaruh salinitas terhadap kandungan protein dan pertumbuhan Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma macropomum)).

Morfologi Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma macropomum)

Tubuh ikan bawal tampak membulat (oval) dengan perbandingan antara panjang dan tinggi 2 : 1. Bila dipotong secara vertikal, bawal memiliki bentuk tubuh pipih(compressed) dengan perbandingan antara tinggi dan lebar tubuh 4:1. Bentuk tubuh seperti ini menandakan gerakan ikan bawal tidak cepat seperti ikan lele atau grass carp, tetapi lambat seperti ikan gurame dan tambakan. Sisiknya kecil berbentuk ctenoid, di mana setengah bagian sisik belakang menutupi sisik bagian depan. Warna tubuh bagian atas abu-abu gelap, sedangkan bagian bawah berwarna putih. Pada ikan bawal dewasa, bagian tepi sirip perut, sirip anus dan bagian bawah sirip ekor berwarna merah. Warna merah ini merupakan ciri khusus ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum) (Effendi, 2003).
Kepala ikan bawal bintang (Colossoma macropomum) berukuran kecil yang terletak di ujung kepala tetapi agak sedikit ke atas. Bawal memiliki lima buah sirip, yaitu sirip punggung, sirip dada, sirip perut, sirip anus dan sirip ekor. Sirip punggung tinggi kecil dengan sebuah jari-jari tegak keras, tetapi tidak tajam, sedangkan jari-jari lainnya lemah. Sirip punggung pada ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum) terletak agak ke belakang. Sirip dada, sirip perut dan sirip anus kecil dan jari-jarinya lemah. Demikian pula dengan sirip ekor, jari-jarinya lemah tetapi berbentuk cagak (Arie, 2004).
Linea Lateralis (LL) yang dihitung adalah sisik berpori atau gurat sisik atau linea lateralis. Bentuk deretan dan jumlah sisik tersebut tidak sama untuk    masing–masing spesies ikan. Sisik linea lateralis dihitung dari depan (dekat kepala) kearah ekor. Jika linea lateralis suatu jenis ikan tidak lurus seperti pada ikan kue (carangidae), maka jumlahnya tetap dihitung mengikuti arah gurat sisik yang berbelok tersebut. Jika bentuk linea lateralis terbagi dua seperti ikan buntal, maka dihitung dulu bagian pertama, kemudian bagian kedua yang arahnya lebih kebelakang. Jika ikan mempunyai gurat sisik yang banyak seperti ikan belanak, maka dihitung satu garis saja diambil yang garisnya terletak di tengah (Kordi, 2011).
 

Popular Posts

Blog Archive

About