Efek rumah kaca,
yang pertama kali diusulkan oleh Joseph Fourier pada 1824, merupakan proses
pemanasan permukaan suatu benda langit (terutama planet atau satelit) yang
disebabkan oleh komposisi dan keadaan atmosfernya
Dunia memperoleh sebagian besar energi dari pembakaran
bahan bakar fosil yang berupa pembakaran minyak bumi, arang maupun gas bumi.
Ketika pembakaran berlangsung sempurna, seluruh unsur karbon dari senyawa ini
diubah menjadi karbon dioksida. Senyawa karbon dari bahan bakar fosil telah
tersimpan di dalam bumi selama beratus-ratus milliar tahun lamanya. Dalam
jangka waktu satu atau dua abad ini, senyawa karbon ini dieksploitasi dan
diubah menjadi karbon dioksida. Tidak semua karbon dioksida berada di atmosfir
(sebagian darinya larut di laut dan danau, sebagian juga diubah menjadi
bebatuan dalam wujud karbonat kalsium dan magnesium), tetapi hasil pengukuran
menunjukkan bahwa kadar CO2 di atmosfir
perlahan-lahan meningkat tiap tahun dan terus meningkat dekade-dekade terakhir.
Peningkatan dari kadar CO2 di atmosfir menimbulkan masalah-masalah
penting yang disebabkan oleh alasan-alasan berikut ini. Karbon dioksida memiliki
sifat memperbolehkan cahaya sinar tampak untuk lewat melaluinya tetapi menyerap
sinar infra merah. Agar bumi dapat mempertahankan temperatur rata-rata, bumi
harus melepaskan energi setara dengan energi yang diterima. Energi diperoleh
dari matahari yang sebagian besar dalam bentuk cahaya sinar tampak. Oleh karena
CO2 di atmosfer memperbolehkan sinar tampak untuk
lewat, energi lewat sampai ke permukaan bumi. Tetapi energi yang kemudian
dilepaskan (dipancarkan) oleh permukaan bumi sebagian besar berada dalam bentuk
infra merah, bukan cahaya sinar tampak, yang oleh karenanya disearap oleh
atmosfer CO2.
Sekali molekul CO2 menyerap energi dari sinar infra merah, energi
ini tidak disimpan melainkan dilepaskan kembali ke segala arah, memancarkan
balik ke permukaan bumi. Sebagai konsekuensinya, atmosfer CO2 tidak menghambat energi matahari untuk
mencapai bumi, tetapi menghambat sebagian energi untuk kembali ke ruang
angkasa. Fenomena ini disebut dengan efek rumah kaca.
Kita mungkin menduga adanya peningkatan bertahap dari
temperatur rata-rata permukaan bumi atau pemanasan global, sebagai akibat dari
bertambahnya kadar CO2 tiap tahunnya.
Sesungguhnya, tidak diperlukan peningkatan yang tinggi dari temperatur
rata-rata untuk mengakibatkan perubahaan pada cuaca bumi. Peningkatan 4 derajat
celcius cukup untuk sebagian besar antartik mencair dan berakibat tenggelamnya
beberapa negara-negara pantai di seluruh dunia. Tetapi apakah sesungguhnya
temperatur rata-rata terus meningkat? Hasil pengukuran menunjukkan temperatur
rata-rata bumi meningkat, 0.6 derajat celcius, dari tahun 1880 sampai 1940,
lalu kembali menurun, kurang lebih 0.3 derajat celcius, dari tahun 1940 sampai
1975, walaupun konsentrasi dari CO2 pada
atmosfer terus meningkat pada masa itu. Sejak tahun 1975 temperatur bumi
kembali meningkat secara perlahan-lahan. Pada dasarnya, sampai saat ini kita
tidak memastikan seberapa jauh efek rumah kaca berdampak pada perubahan cuaca
bumi. Ada banyak faktor yang terlibat didalamnya, dan penelitian terus
berlanjut.
Akibat
Meningkatnya suhu permukaan bumi akan mengakibatkan adanya
perubahan iklim yang sangat ekstrim di bumi. Hal ini dapat mengakibatkan
terganggunya hutan dan ekosistem lainnya, sehingga mengurangi kemampuannya
untuk menyerap karbon dioksida di atmosfer. Pemanasan global mengakibatkan
mencairnya gunung-gunung es di daerah kutub yang dapat menimbulkan naiknya permukaan
air laut. Efek rumah kaca juga akan mengakibatkan meningkatnya suhu air laut
sehingga air laut mengembang dan terjadi kenaikan permukaan laut yang
mengakibatkan negara kepulauan akan mendapatkan pengaruh yang sangat besar.
No comments:
Post a Comment